Kamis, 21 April 2011

KISAH PASKAH

Dulu ketika aku kecil, perayaan Paskah menjadi suatu perayaan yang amat menyenangkan bagiku. Di paroki, bersama anak-anak Allah yang lainnya aku saling bercanda, kejar-kejaran, main kelereng dan bermain permainan lain yang menyenangkan. Senyum-senyum selalu tersungging di wajah kami, bahkan ada yang tertawa lebar-lebar ketika melihat kekonyolan-kekonyolan yang tejadi.

Semuanya itu menjadi lebih bersemarak ketika mbak Rosa–pembina kami–memukul genta-genta kecil yang dibawanya. Itu pertanda kalau kami harus segera mengunci mulut-mulut manis kami untuk mulai berdoa, sebelum acara mencari telur Paskah dimulai. Tiba-tiba saja...

“He...telulnya cudah kamu cimpan?” tanya kakakku lirih ketika doa dimulai.

“Jangan khawatil kak, ade udah cimpan di tempat yang aman.” Sahutku meyakinkannya.

“Ya udah, nanti jangan lupa bantu aku ya.” Katanya memelas.

“Ok bos!”anggukku.

Doa selesai diucapkan oleh mbak Rosa, kini pesta cari telur dimulai. Kebiasaan di parokiku demikian, masing-masing anak membawa telur paskah dari rumah, dihias semenarik mungkin, lalu setiba di paroki segera menyembunyikannya. Pesta ini dimaksudkan agar kami mencari telur-telur paskah ini selain milik kami pribadi. Siapa yang mendapat paling banyak telur paskah, dialah yang menang.

Bersama dengan kakak, aku segera mencari telur-telur itu. Aku mendapat sepuluh butir telur sedangkan kakak empat belas butir, total ada duapuluh empat butir yang kami temukan. Perolehan itu membuat kakakku menang. Sebagai hadiah, mbak Rosa memberikan sepasang telur Paskah dari batu pualam. Warnanya hitam mengkilat, halus, dan ada ukiran salib Kristus di tengahnya.

Mataku dan mata kakak berbinar-binar melihat hadiah indah ini. Tak henti-hentinya kami memegang hadiah ini. Eh...rasanya ingin terus menatapnya, apalagi menatap ukiran salib Yesus tadi. Rasanya begitu menggembirakan dan damai kalau menatapnya.

“Eh...kak, ade boleh minta satu?”pintaku.

“Boleh, nih...kamu ini saja ya.”katanya sambil memberiku telur itu.

“Ue...makasih kak, tapi nanti kalau ketukar gimana?”tanyaku lagi.

“Iya ya, gimana kalau kita beri gambar di baliknya?”usulnya. Karena tidak ada pilihan lagi, aku pun setuju saja. Kami sepakat menggambar wajah anak yang tersenyum. Kini telur itu seakan-akan menggambarkan diri kami sendiri, bagaimana rukunnya kami sebagai seorang saudara. Sungguh indah dan memang begitu indah, bukan begitu?

Tetapi kenangan-kenangan masa lalu itu rasanya seperti mimpi, yang membuatku muak kalau mengingatnya, aku ingin melupakannya. Pengalaman itu membuatku merasa pedih sekali.

Beberapa saat semenjak itu, ketika bermain-main harta yang terpendam, aku lupa dimana aku memendam kedua telur Paskah itu. Melihat itu kakak menjadi sangat marah, kami bertengkar.

Lama-kelamaan hubunganku dengan kakak memburuk, kami mulai sering bertengkar, kami tidak lagi akur bahkan sampai sekarang. Rasanya hari-hari bagaikan neraka, setiap hari kami selau adu mulut, dan paling parah kami menjadi tidak banyak omong lagi. Hubungan saudara kami seakan-akan putus.

Kalau saja aku tidak memendam telur-telur Paskah itu, mungkin hubunganku dengan kakak bisa jadi berbeda dari sekarang, seandainya aku lebih cermat lagi waktu itu, mungkin kakak tidak akan seperti ini. Seandainya...

Di tengah keputusasaan dan kesedihanku, mau tak mau hidup tetap berlangsung. Kini aku berumur duapuluh empat tahun, sedangkan kakak akan berumur duapuluh lima. Dua minggu lagi ia akan berulang tahun. Dalam hati kecilku, aku ingin meminta maaf padanya, aku tidak betah kalau hidup seperti ini terus. Tetapi lewat apa, lha dianya kalau melihat aku pasti melengos. Aku butuh sesuatu yang dapat aku jadikan hadiah.

Lama aku merenung. Hatiku gundah, namun justru karena itulah, entah mengapa aku berdoa. Untuk pertama kalinya dalam hidup ini dengan sadar aku berdoa.

“Tuhan, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku sadar bahwa aku ingin agar aku rukun dengan kakakku. Aku mau berdamai dan kembali ceria seperti masa kanak-kanak dulu. Satu yang kumohon, yaitu rahmatMu agar aku mampu menemukan kebahagiaan itu lagi dalam hidupku ini.”ungkapku dalam hati.
Terbesit dalam benakku seketika itu juga gambaran sepasang telur Paskah yang hilang itu. Ya, itu jawabannya. Aku harus mencari dan menemukannya, waktuku hanya dua minggu. Dan inilah kesempatanku. TUHAN TELAH MEMBERI JALAN!

Tanpa pikir panjang lagi aku berlari, menuju lapangan sekolah tempat aku bermain dulu. Meski hari sudah malam aku tetap nekad untuk menemukannya. Aku mencoba mengingat dimana kira-kira aku memendamnya. Merasa tidak menemukan serpihan-serpihan masa lalu, aku pun mulai menggali, menggali, dan menggali.

Di penghujung kesadaranku, aku meneteskan air mataku, pelupukku basah karena penyesalan mendalam, perasaan bersalah menghantamku begitu sangat. Entah mengapa, tiba-tiba dunia ini terasa berputar-putar, suara perlahan lahan lenyap, semua cahaya meredup dan gelap. Tiada apapun kecuali kegelapan. Aku pingsan.

Antara sadar atau tidak ada suara seorang memanggilku, “Des, bangun Des, he...bangun he...” semua yang tampak gelap kini menjadi terang. Aku terangkat dari kegelapan itu. Sedikit demi sedikit aku mulai mampu melihat. Begitu sadar, aku amat terkejut ketika mendapati kakakku duduk di sampingku, dengan raut wajah cemas.

“Hei bodoh, kamu kenapa malam-malam begini ke sini?”

“Ee...aku mencari telur yang aku hilangkan waktu itu,”jawabku sambil menundukkan kepala karena saking takutnya.

“O, rupanya kamu mencari barang itu, tha. Kenapa kamu mencarinya sekarang? Kenapa tidak diwaktu yang lain? Kenapa malam hari begini? Bodoh amat sich, kamu ini. Coba pikir nanti kalau ada apa-apa dengan kamu bagaimana. Kamu ini anak perempuan semata wayang lho Des, ingat itu!”ucap kakakku dengan nada khawatir.

“Aku hanya ingin telur itu ditemukan, Kak. Aku mau itu jadi hadiah saat kakak ulang tahun nanti. Aku mau kita rukun lagi, tertawa bersama, ngobrol hal-hal yang konyol seperti waktu kita kecil, aku mau ...”

“Cukup! Cukup, aku tahu, jangan kamu lanjutkan. Ak...akupun juga. Des, maafkan aku karena sikapku selama ini. Ma...”

Mendengar itu, air mata kebahagiaan melinang di pipiku. Aku menangis sejadi-jadinya. Akhirnya, setelah sekian lama kami pun mampu berdamai. Kami menemukan kerukunan kami yang telah lama hilang. Rupanya Tuhan mengabulkan doaku. Ia memberi yang terbaik, Ia begitu baik.

Telur-telur Paskah itu akhirnya tidak kami temukan. Namun kami yakin, mereka tidak menghilang. Mereka telah menetas dan kini hidup dan bangkit dalam diri kami. Telur-telur itu akan tetap tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar